Cahaya itu diatas cahaya…

Menerangi jalan menuju cinta-Nya



Sabtu, 12 November 2011

Titik Nadir


Ketika diri ini berada pada posisi tegak yang terpojok, kaki terasa kuat tegak berdiri akan tetapi dalam hakikatnya kaki ini begitu gontai tak berdaya. Ketika begitu banyak gelombang yang menerjang kumerasa terkikis secara perlahan tapi pasti, dan ketika badai itu datang menghampiri tak kuat tanganku untuk menggapai pegangan yang kokoh ini aku terhempas bersama derunya  angin itu. Ugh…sesak dada ini untuk segera keluar dan mencoba melawan arus yang ada karena dada ini benar2 tak kuat untuk menahan sesaknya perih menghampiri. Mata ini sudah tak mampu lagi  untuk mengeluarkan air mata, mulut ini sudah letih memanggil dimanakah?

Aku sendiri ditengah ketidakpastian badai ini.

Harap, doa, dan harapan terus aku untaikan tak terasa dan aku menyadarinya Aku telah terdampar pada sebuah pulau. Air mata ini tak terasa mengalir membasahi pipi. Entahlah kekosonganku seakan-akan telah terisi oleh sesuatu yang perlahan-lahan bergerak mengisi nurani hati yang telah lama tak terisi. Aku terkulai lemah, kaki ini tak kuasa menahan rindu yang berusaha merasuk ke hati, aku rindu rasa ini, aku rindu tatapan cinta ini, aku rindu dengan mereka, orang-orang yang telah aku tinggalkan. Sayang…mereka sama sekali tak merasakan kehadiranku. Aku mencoba memanggil mereka dan berteriak. Mereka bungkam, mereka membisu pada diriku. Air mata yang berderai ini semakin hebat mengalir. Kepanikan menjalar didiriku, aku frustasi dan mencoba berlari pada sebuah dermaga tak berpenghuni Aaargh………aku kesal dan mencoba berteriak pada bumi. Aku ga mau seperti ini, saat cinta mereka tumbuh cintaku mati, saat mereka mencoba untuk berjalan aku berhenti. Aku tak berdaya. Aku tak mau seperti ini. Tiba-tiba bibir ini berucap Tuhan ampuni aku, tolonglah aku, kata yang sudah lama aku lupakan dari bibir dan hati ini. Air mata ini mengalir kembali tanpa aku sadari. Tetapi aku menjadi tenang dan semakin tenang. Terisak aku dan terkulai pada tepi dermaga ini. Terduduk tak berdaya.

            Memori, panggung kehidupan, episode hidup yang telah aku jalani mencoba untuk mengeksploitasi otak ini mencoba flash back pada perjalanan hidup. Canda, tawa, senda, gurau, kemunafikan, kebohongan, pria, harta, basa-basi, pujian, rayuan, sanjungan membuat hati ini miris. Inikah diriku.

            Kepalaku sudah tidak kuat untuk menahan beban ini, kepalaku terasa berat, berkunang-kunang, semua terasa semakin begitu jelas tergambar. Ayah, bunda, abang, adik, sahabat satu persatu beranjak pergi. Gelap dan semakin gelap, badanku terjatuh pada pasir dermaga yang basah. Gelap, bibirku tak terasa berucap Ya Allah…ampunilah aku……


Tidak ada komentar:

Posting Komentar