Cahaya itu diatas cahaya…

Menerangi jalan menuju cinta-Nya



Rabu, 05 Oktober 2011

Maafkan aku ibu..Setulus Qalbu

Bismillahirrahmanirrahim…

Mungkin inilah proses persalinan yang penuh dengan haru biru semenjak saya kerja di tempat yang baru. Hari yang bersejarah bagi seorang ibu muda bernama ibu “P”. Bagaimana tidak ketika saat-saat yang paling ditunggu oleh seorang ibu dan keluarga menanti kelahiran anggota keluarga baru apalagi anak pertama dari pasangan tersebut. Harapannya adalah ketika sakit itu datang ada keluarga dan orang tua tercinta mendampingi proses persalinan agar berjalan lancar yaaa minimal ada do’a dan restu disana. Harapan besar bagi seorang wanita saat yang istimewa itu ada suami yang menemani, ibunda, ayahnda dan keluarga besar yang saling support satu sama lainnya.

Namun cerita tak selamanya indah, sekenario tak selamanya diisi dengan tawa bahagia. Tak selamanya hidup datar  tanpa tanjakan ataupun turunan. Ibu itu masih terbilang muda 19 tahun dan suami yang hanya selang 2 tahun. Hmm.. pasangan muda ternyata. Anamnesa berlanjut, selidik punya cerita ternyata pasangan ini tidak disetujui pernikahannya oleh pihak keluarga perempuan dengan alasan perbedaan status social ekonomi. Keluarga dari pihak perempuan menginginkan kalau melanjutkan kuliah lebih utama dibanding menikah. Tapi cinta sudah sampai pada puncaknya, keinginan untuk menikah mungkin sudah tidak terbendung lagi dan pasangan ini sempat kabur dari rumah selama 3 bulan, yaa tujuanya menikah tapi tanpa restu dari pihak sang istri.Beruntung pihak suami masih membuka tangannya untuk menerima kedua pasangan yang sudah menjadi suami istri tersebut.

Pertama kali saya ketemu mereka saat si ibu memeriksa kehamilannya di Puskesmas secara rutin. Hanya berdua bersama suaminya, dan rutin menyalami kami ketika datang maupun saat pulang. Tetap ada senyum dari wajah keduanya. Ternyata isu pernikahan mereka suda santer terdengar di tempat kerja saya karena ibu P merupakan anak pejabat penting di daerah tersebut. Tinggal menunggu waktu proses persalinan yang menghitung hari.

Tanggal 1 Oktober, saya kembali bertemu pasangan suami istri itu dalam kondisi sang istri sudah mules-mules dan ingin melahirkan. Ternyata mereka tidak sendiri ditemani oleh keluarga laki-laki yang ternyata sangat sayang kepada ibu P, saya bisa melihat bahwa perhatian itu tidak dibuat-buat murni riil pihak laki-laki menerima pernikahan mereka.

Proses persalinan berjalan lambat kemajuan tidak seperti yang diharapkan saya dan teman bidan lainnya. Akhirnya si ibu diinfus karena terlihat sangat lemah dan kecapean. Ga ada suara, ga ada erangan, ga ada teriakan ataupun ekspresi kesal menyalahi sakit yang kerap datang setiap 2-3 menit sekali. Ya Allah, saya miris melihat pasangan ini. Si ibu P hanya diam, silence, saya seperti membayangkan seseorang yang sudah tak punya air mata ataupun suara untuk sekedar meluapkan apa yang dirasa. Mungkin beban tak direstui keluarga itu lebih besar ketimbang rasa sakit yang dialaminya, mungkin saja air matanya sudah habis saat menangis dan meminta izin restu dari sang ibu dan ayahnya. Perempuan, kadang paling bisa menyembunyikan perasaannya walaupun itu ibarat dihantam palu godam. Sang suami berusaha menguatkan sang istri sambil sesekali meniup ubun-ubun sang istri dan ada air mata di sudut matanya, yaa terlihat sekali sesekali ia menyekanya.

Pembukaan sudah lengkap, satu jam dipimpin mengedan tidak terdapat tanda-tanda kemajuan persalinan kepala bayi tetap tidan turun ke H3. Keluarga suami sudah terlihat panik saat menantunya tak menunjukkan tanda-tanda kelahiran bayi, tangisan sudah mulai berjatuhan di depan ruang persalinan.Mereka sudah menyerahkan sepenuhnya yang terbaik secara medis kepada kami. Bidan senior sempat menghubungi bidan desa agar membawa ibunya Ny. “P” ke puskesmas. Bagaimanapun restu dan do’a orang tua berperan disini. Apalagi kehadiran ibu. Cukuplah ego hanya sampai pada tak merestui, tapi bayi yang dikandung janganlah sampai terkena imbas kealpaan ataupun kekhilafan ibu-bapaknya.

Satu persatu keluarga menyemangati Ny.”P”, dengan berbagai macam cara dan perkataan yang membuat miris hati. Masih dengan ekspresi yang sama tanpa perkataan dan suara, hanya wajahnya tetap menunjukan rasa sakit yang sudah sangat-sangat. Ya Rabb,. Beri kemudahan di proses persalinan ini.

Alhamdulillah, tak diduga kami ibunda NY. “P” datang ke puskesmas bersama bidan desa. Ibu…ibu… tetap tidak akan tega membiarkan anaknya mengerang sakit seorang diri. Tetap lebih menggunakan perasaanya ketimbang egonya. Tangis pecah saat itu, ibunda Ny. “P” berbisik di telinga anaknya sambil terus berdo’a. Dalam hati saya “hfft….baiklah, tak perlu ada marah lagi disini tak perlu ada yang berkeras hati disini, Ridhoilah anakmu ibu. Do’akan agar persalinan ini Allah mudahkan. Do’a dan restumu berperan disini  ibu”.

Maghrib menghampiri, do’a-do’a kami mengalun penuh syahdu ke langit-langit yang sudah tampak kelam,senja berlalu. Kami milik-Mu Ya Allah. Apalah kami tanpa pertolongan dari Sisi-Mu. Bahkan untuk bernafas saja kami membutuhkan Kuasa-Mu. Rabb, kami menyadari kami banyak kesalahan, khilaf kami lebih banyak ketimbang amal kami. Jangan jadikan kesalahan kami menutup Rahmat-Mu Ya Allah. Ampunilah kami, mudahkan ikhtiar kami, di sini ada seorang perempuan yang berjuang untuk menjadi seorang ibu. Mungkin rasa sakit yang saya lihat tidak sebanding apa yang dirinya rasa. Mudahkan Ya Allah, kami memohon yang terbaik dari sisi-Mu.

Air mata, mungkin inilah salah satu ketidak berdayaan seseorang yang bernama manusia. Apa yang mau disombongkan ketika kesulitan itu menerpa. Siapa yang mau dipanggil ketika nyawa sudah berada di ujung tanduk dan di depan mata. Mana pangkat yang dibanggakan, mana harta yang kerap dipamerkan mana status ekonomi yang diunggulkan kemana?? Kalau sudah saat-saat seperti ini dimana dunia? Dan semakin dekatlah antara kehidupan dan kematian.

Dua jam hampir terlewati, kepala bayi sudah crowning. Semua orang semakin panik dan berusaha menyemangati. Sang suami tak kuasa menahan tangis di samping istri yang berjuang. Alhamdulillah, Allahuakbar, si kecil lahir segera menangis lengkap sehat tanpa kekurangan fisik apapun. Saya merasakan atmosfer sedih yang bercampur bahagia di ruangan itu. Ruangan itu terasa hangat dengan rasa syukur. Ny.”P” terlihat tak kuasa menahan air matanya yang akhirnya tumpah, dan saat bayi lahir si ibu yang menemani langsung pergi dan pamit untuk pulang. Entahlah apa yang dirasa sang ibunda yang telah berubah statusnya menjadi seorang nenek. Apakah yang dirasa saat bayi merah itu lahir di depan matanya yang sayu. Adakah restu dan do’a untuk cucu yang tak bersalah, adakah maaf untuk anak yang banyak melakukan kesalahan, masih adakah senyum dan do’a  sayang untuk keluarga baru ini. Ibu.. saya yakin cinta itu masih melekat kuat dihatimu.

Saya sudah berkata banyak. Ini hanyalah ungkapan hati dari apa yang saya lihat dan rasakan dengan pengalaman hidup keluarga muda ini. Entahlah, siapa yang benar dan salah. Tapi bukan itu yang ingin dicari dari hikmah ini. Kalau setiap orang ingin mencari siapa yang salah pastinya setiap orang punya celah untuk bersalah. Saya yakin restu, do’a dan dukungan orang tua berperan membuka pintu langit dan keridhoan Allah. Do’a orang tua yang akan memudahkan dan meringankan jalan dan tujuan yang akan kita tempuh. Dan batu yang keras ketika di jatuhi air tarus-menerus bisa terbelah.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Luqman 14).

#Maafkan aku ibu.. setulus qalbu











Tidak ada komentar:

Posting Komentar