Bismillahirrahmanirrahim…
Mungkin inilah proses
persalinan yang penuh dengan haru biru semenjak saya kerja di tempat yang baru.
Hari yang bersejarah bagi seorang ibu muda bernama ibu “P”. Bagaimana tidak
ketika saat-saat yang paling ditunggu oleh seorang ibu dan keluarga menanti
kelahiran anggota keluarga baru apalagi anak pertama dari pasangan tersebut.
Harapannya adalah ketika sakit itu datang ada keluarga dan orang tua tercinta
mendampingi proses persalinan agar berjalan lancar yaaa minimal ada do’a dan
restu disana. Harapan besar bagi seorang wanita saat yang istimewa itu ada suami
yang menemani, ibunda, ayahnda dan keluarga besar yang saling support satu sama
lainnya.
Namun cerita tak
selamanya indah, sekenario tak selamanya diisi dengan tawa bahagia. Tak
selamanya hidup datar tanpa tanjakan
ataupun turunan. Ibu itu masih terbilang muda 19 tahun dan suami yang hanya
selang 2 tahun. Hmm.. pasangan muda ternyata. Anamnesa berlanjut, selidik punya
cerita ternyata pasangan ini tidak disetujui pernikahannya oleh pihak keluarga
perempuan dengan alasan perbedaan status social ekonomi. Keluarga dari pihak
perempuan menginginkan kalau melanjutkan kuliah lebih utama dibanding menikah.
Tapi cinta sudah sampai pada puncaknya, keinginan untuk menikah mungkin sudah
tidak terbendung lagi dan pasangan ini sempat kabur dari rumah selama 3 bulan,
yaa tujuanya menikah tapi tanpa restu dari pihak sang istri.Beruntung pihak
suami masih membuka tangannya untuk menerima kedua pasangan yang sudah menjadi
suami istri tersebut.
Pertama kali saya
ketemu mereka saat si ibu memeriksa kehamilannya di Puskesmas secara rutin.
Hanya berdua bersama suaminya, dan rutin menyalami kami ketika datang maupun
saat pulang. Tetap ada senyum dari wajah keduanya. Ternyata isu pernikahan
mereka suda santer terdengar di tempat kerja saya karena ibu P merupakan anak
pejabat penting di daerah tersebut. Tinggal menunggu waktu proses persalinan
yang menghitung hari.
Tanggal 1 Oktober,
saya kembali bertemu pasangan suami istri itu dalam kondisi sang istri sudah
mules-mules dan ingin melahirkan. Ternyata mereka tidak sendiri ditemani oleh
keluarga laki-laki yang ternyata sangat sayang kepada ibu P, saya bisa melihat
bahwa perhatian itu tidak dibuat-buat murni riil pihak laki-laki menerima
pernikahan mereka.
Proses persalinan
berjalan lambat kemajuan tidak seperti yang diharapkan saya dan teman bidan
lainnya. Akhirnya si ibu diinfus karena terlihat sangat lemah dan kecapean. Ga
ada suara, ga ada erangan, ga ada teriakan ataupun ekspresi kesal menyalahi
sakit yang kerap datang setiap 2-3 menit sekali. Ya Allah, saya miris melihat
pasangan ini. Si ibu P hanya diam, silence, saya seperti membayangkan seseorang
yang sudah tak punya air mata ataupun suara untuk sekedar meluapkan apa yang
dirasa. Mungkin beban tak direstui keluarga itu lebih besar ketimbang rasa
sakit yang dialaminya, mungkin saja air matanya sudah habis saat menangis dan
meminta izin restu dari sang ibu dan ayahnya. Perempuan, kadang paling bisa
menyembunyikan perasaannya walaupun itu ibarat dihantam palu godam. Sang suami
berusaha menguatkan sang istri sambil sesekali meniup ubun-ubun sang istri dan
ada air mata di sudut matanya, yaa terlihat sekali sesekali ia menyekanya.
Pembukaan sudah
lengkap, satu jam dipimpin mengedan tidak terdapat tanda-tanda kemajuan
persalinan kepala bayi tetap tidan turun ke H3. Keluarga suami sudah terlihat panik
saat menantunya tak menunjukkan tanda-tanda kelahiran bayi, tangisan sudah
mulai berjatuhan di depan ruang persalinan.Mereka sudah menyerahkan sepenuhnya
yang terbaik secara medis kepada kami. Bidan senior sempat menghubungi bidan
desa agar membawa ibunya Ny. “P” ke puskesmas. Bagaimanapun restu dan do’a
orang tua berperan disini. Apalagi kehadiran ibu. Cukuplah ego hanya sampai
pada tak merestui, tapi bayi yang dikandung janganlah sampai terkena imbas
kealpaan ataupun kekhilafan ibu-bapaknya.
Satu persatu keluarga
menyemangati Ny.”P”, dengan berbagai macam cara dan perkataan yang membuat
miris hati. Masih dengan ekspresi yang sama tanpa perkataan dan suara, hanya
wajahnya tetap menunjukan rasa sakit yang sudah sangat-sangat. Ya Rabb,. Beri
kemudahan di proses persalinan ini.
Alhamdulillah, tak
diduga kami ibunda NY. “P” datang ke puskesmas bersama bidan desa. Ibu…ibu…
tetap tidak akan tega membiarkan anaknya mengerang sakit seorang diri. Tetap
lebih menggunakan perasaanya ketimbang egonya. Tangis pecah saat itu, ibunda
Ny. “P” berbisik di telinga anaknya sambil terus berdo’a. Dalam hati saya “hfft….baiklah,
tak perlu ada marah lagi disini tak perlu ada yang berkeras hati disini,
Ridhoilah anakmu ibu. Do’akan agar persalinan ini Allah mudahkan. Do’a dan
restumu berperan disini ibu”.
Maghrib menghampiri,
do’a-do’a kami mengalun penuh syahdu ke langit-langit yang sudah tampak kelam,senja
berlalu. Kami milik-Mu Ya Allah. Apalah kami tanpa pertolongan dari Sisi-Mu.
Bahkan untuk bernafas saja kami membutuhkan Kuasa-Mu. Rabb, kami menyadari kami
banyak kesalahan, khilaf kami lebih banyak ketimbang amal kami. Jangan jadikan
kesalahan kami menutup Rahmat-Mu Ya Allah. Ampunilah kami, mudahkan ikhtiar
kami, di sini ada seorang perempuan yang berjuang untuk menjadi seorang ibu.
Mungkin rasa sakit yang saya lihat tidak sebanding apa yang dirinya rasa.
Mudahkan Ya Allah, kami memohon yang terbaik dari sisi-Mu.
Air mata, mungkin
inilah salah satu ketidak berdayaan seseorang yang bernama manusia. Apa yang
mau disombongkan ketika kesulitan itu menerpa. Siapa yang mau dipanggil ketika
nyawa sudah berada di ujung tanduk dan di depan mata. Mana pangkat yang
dibanggakan, mana harta yang kerap dipamerkan mana status ekonomi yang
diunggulkan kemana?? Kalau sudah saat-saat seperti ini dimana dunia? Dan
semakin dekatlah antara kehidupan dan kematian.
Dua jam hampir
terlewati, kepala bayi sudah crowning. Semua orang semakin panik dan berusaha
menyemangati. Sang suami tak kuasa menahan tangis di samping istri yang
berjuang. Alhamdulillah, Allahuakbar, si kecil lahir segera menangis lengkap
sehat tanpa kekurangan fisik apapun. Saya merasakan atmosfer sedih yang
bercampur bahagia di ruangan itu. Ruangan itu terasa hangat dengan rasa syukur.
Ny.”P” terlihat tak kuasa menahan air matanya yang akhirnya tumpah, dan saat
bayi lahir si ibu yang menemani langsung pergi dan pamit untuk pulang. Entahlah
apa yang dirasa sang ibunda yang telah berubah statusnya menjadi seorang nenek.
Apakah yang dirasa saat bayi merah itu lahir di depan matanya yang sayu. Adakah
restu dan do’a untuk cucu yang tak bersalah, adakah maaf untuk anak yang banyak
melakukan kesalahan, masih adakah senyum dan do’a sayang untuk keluarga baru ini. Ibu.. saya
yakin cinta itu masih melekat kuat dihatimu.
Saya sudah berkata
banyak. Ini hanyalah ungkapan hati dari apa yang saya lihat dan rasakan dengan
pengalaman hidup keluarga muda ini. Entahlah, siapa yang benar dan salah. Tapi
bukan itu yang ingin dicari dari hikmah ini. Kalau setiap orang ingin mencari
siapa yang salah pastinya setiap orang punya celah untuk bersalah. Saya yakin
restu, do’a dan dukungan orang tua berperan membuka pintu langit dan keridhoan
Allah. Do’a orang tua yang akan memudahkan dan meringankan jalan dan tujuan
yang akan kita tempuh. Dan batu yang keras ketika di jatuhi air tarus-menerus
bisa terbelah.
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Luqman 14).
#Maafkan aku ibu.. setulus qalbu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar