Pernah seorang sahabat saya
bercerita bahwa semakin tinggi ilmu yang kita miliki semakin nyata bahwa kita
memang tidak bisa mengetahui banyak hal, semakin tinggi ilmu yang kita punya
tidak menjamin kita paham tentang spesialisasi ilmu yang lainnya.
Seorang konsultan dokter spesialis
kandungan tidak bisa memahami spesialisasi ilmu kedokteran anak, seorang yang
bertitel professor di bidang ekonomi bisa saja nihil pengetahuan dalam bidang hukum.
Karena pada hakekatnya semakin tinggi kita menunjukan sebetulnya kita terbatas.
Do’a yang tulus saya lantunkan
untuk bayi Ghina yang sedang berjuang untuk tetap bertahan atas dera sakitnya
tusukan jarum infuse yang berusaha bertahan menusuk bagian venanya yang rapuh. Harumnya
tubuh bayi Gina masih melekat di baju ini, karena beberapa jam yang lalu saya
sempat menggendongnya, mengusap keningnya, mengusap-ngusap telapak kakinya yang
mungil, sesekali menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Bayi Ghina tetap
lunglai tak bertenaga, sesekali menangis.
Sungguh, keinginan untuk menolong
bayi Ghina memuncak di hati saya, dengan ilmu yang saya punya saya ingin bayi
ini sembuh tanpa harus dirawat lagi dan lagi. Dengan usia yang masih 13 hari
Ghina menahan sakit dan perih, 3 kali masuk rumah sakit dan diinfuse itu
sesuatu yang menyayat hati bagi bundanya, ayahnya dan siapapun yang melihat. Tapi
kondisi baik bisa berubah menjadi buruk, dan tak ada orang tua yang berharap
kondisi anaknya menjadi lebih buruk akibat kelalaiannnya mengambil keputusan. Dan
keputusan itu membuat bayi Ghina kembali memasuki ruangan bercat putih yang
berbau Lysol itu.
Sekuat tenaga saya mencoba agar
demamnya hilang, nihil hasilnya, beralih saya mengantar Ghina bersama orang tuanya
ke dokter, dokterpun angkat tangan karena Ghina harus ditangani oleh yang lebih
ahli alias dokter spesialis anak. Pada akhirnya Ghina harus menempuh perjalanan
yang sangat jauh menemui sang dokter spesialis hanya untuk menangani demamnya
dan kondisi lemasnya.
Saya ini siapa? Sekuat baja saya
berusaha agar Ghina tak perlu dirawat kandas nyatanya Ghina memerlukan
seseorang yang memang lebih ahli dalam sakitnya ini. Ada perasaan sedih melihat
si kecil Ghina yang diberi cobaan seperti itu, terlebih buat kedua orang
tuanya. Saya hanya bisa menguatkan bunda dan ayahnya Ghina, menguatkannya agar tetap bersabar dengan cobaan ini.
Subhanallah, ini adalah ladang pengorbanan,
kesabaran, keikhlasan yang berhektar-hektar tak berbatas bagi kedua orang tua
Ghina. Bagaimana tetap berbaik sangka terhadap takdir, bagaimana menyikapi
masalah dengan hati yang tenang, bagaimana menyerahkan semua yang terjadi
kepada pemilik masalah itu. kita ini siapa? Tanpa ada yang kuasa atas diri
kita. Atas apa yang tengah terjadi pada Ghina dan kondisi yang menimpa
keluarganya dan bagaimana jika kita yang berada di posisi keluarga tersebut. Tentunya
apa-apa yang sedang terjadi pada Ghina pastinya sudah Allah swt takdirkan
tertulis di cerita hidupnya Ghina dan kedua orang tuanya. Setiap detail dengan
begitu sempurna. Adakah keteraturan ini muncul dengan begitu tiba-tiba?
Memaksimalkan ikhtiar tentunya
akan dilakukan semampu kepala menyentuh langit. Dan kita ini apa jikalau tanpa
Yang Maha Berkuasa atas tiap diri-diri kita? Ghina, “menyentil” saya bahwa ilmu
yang saya miliki berbatas, bahwa
memaksimalkan ikhtiar menjadi salah satu jalur untuk hidup, bahwa nyata saya
butuh sesuatu yang Maha Berkuasa untuk merubah segala kondisi, buruk menjadi
baik, sempit menjadi lapang, panas menjadi dingin, sakit menjadi sembuh, tangis
menjadi tawa, duka menjadi bahagia.
Insya Allah, semoga Allah SWT mengangkat
sakitnya Ghina, Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar