Cahaya itu diatas cahaya…

Menerangi jalan menuju cinta-Nya



Senin, 31 Oktober 2011

gelap dan pekat


Bismillah…
Masih dalam asa yang sama ketikaku pertama kali jumpa denganmu
Bukan karena kita sama tapi karena perbedaan itu membuatku merasa nyaman ketika harus berdua saja denganmu
Berdua tanpa kata, dan hanya ada sendu dan senyap meliputi kita saat itu
Entahlah rasa apa itu, tapi kenyamanan meliputi diriku
Pekat terasa menjelaga kala itu, diam.. Cukuplah kata itu
Aku hanya terduduk menikmati pesonamu, tanpa banyak tuntutan biarlah kau mainkan peranmu
Aku hanya ingin menikmati untaian detak, semilir, jerit, kelabu dan misterimu
Biarlah aku hanya sebagai penikmat senimu, seorang penonton drama panggung yang ternyata ikut larut dalam peranmu
Kain merah itu berusaha memisahkan aku dan dirimu
Mambuat jarak dan sekat antara terang dan gelap
Tak apa toh ia pun berperan dalam pesona ini tanpa ia sadari
Drama panggung senyap tengah beraksi,  biar kunikmati hingga nafas ini berhenti
Helaan nafas ini dan pijakan kaki di bumi semoga bisa manjadi saksiku nanti
Terima kasih atas semua pertemuan ini… 
Syukurku padaMu selalu…selamanya..

 -saatku jatuh cinta pada gelap dan pekat-

Sabtu, 29 Oktober 2011

Sami Yusuf - Asma Allah (video)

Bismillah...


Dan hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang... Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad... 



Minggu, 23 Oktober 2011

Sahabat Baru Saya


Bismillah..

Alhamdulillah setelah sekian lama ga ada yg lahiran akhirnyaaaa calon ibu datang
 *seneng bgt :) sambil observari pasien mau sambil cerita.

Saya baru punya kenalan sahabat kecil "Jouly" namanya. Baru beberapa hari tau dan kenal. Jouly sekarang usia 5tahun 9bulan, jouly diasuh sama ibu asuhnya yg biasa dipanggil bubu ciya yg usiany 19th dan sekarang lagi ngmbl Sp.A di Seoul National University. Saya manggil bubu ciya dg sebutan mba Odhi.. Sekarang mereka tinggal di youngin (kl g salah), korea. Jouly punya 1 kakak dan seorang adik namanya Mey.

Sepertinya cukup ya perkenalan singkatnya..

Subhanallah,saya ditakdirkan Allah swt utk bertemu dengan mereka smua dengan cara yg sederhana,via Fb. Pertama kenal sama mba Odhi karena nulis koment di dindingny ust.pizaro dan sebelumny mba odhie udah jadi sohib saya yeni.

Tahukah, saya "ditampar" secara halus melalui tulisan seorang anak yg belum genap usia 6 tahun..kalau di sejajarkn dengan anak Indonesia 5thn 9bl setara dengan anak TK nol besar. Pertama kali baca notesnya Jouly yang berjudul Birul Walidain. Jouly nulis tentang kesehariannya yang diasuh sama bubu. Bagamana Jul dan Mey diasuh,diajarkan mengenal Allah, diajar ngaji dan gimana mencintai Allah dan orang2 sekitarny. Dan luar biasanya Jul bisa mengambil memetik ayat2 Al-Quran&mgambil hikmah dari yg dilihat, di rasa dan yang djalani.

Jouly juga pernah nulis pandangannya tentang perdamaian,tentang aqidah,akhlak umat muslim dan saya membaca smua itu seperti bukan tulisan anak usia 6 tahun tapi seperti usia 17 th yg menulis esay ilmiah keagamaan dengan cara yg sederhana dan mengena. Saya bertanya dalam hati apakah anak ini dewasa sebelum waktunya? ataukah pola didikan ibu angkatnya yang membuat anak ini sangat dewasa berpikirnya? Luar biasa.

Jul,masih inget yang Jul tulis saat Bubu tidak marah waktu Mey gak sengaja pipisin hasil kaligrafi jul? Bubu ga marah&malah membacakan ayat Quran surat Lukman 14. Gmn bubu ngajarin Jul&Mey ngaji dsb. Smua itu bikin saya sadar kalo mendidik anak harus ad ilmunya,dipersiapkan sjak dini,bahkan ketika pernikahan itu belum terjadi. Bagaimana agar anak mengenal Allah,bagaimana anak mencintai Rasul2nya, bagaimana anak bisa dekat dan cinta dengan Quran, bagaimna kita bisa saling menghargai&menasihati dengan cara yg baik dan benar.

Trimakasi mb odhie, Jouly,mey yg solehah.. Saya banyak belajar dari kalian, smg Allah swt selalu sayang sama kita semua :)
================================================================================

Salah satu tulisannya Jouly, Birul Walidain:

Wa'budullaaha wa laa tusysyrikuu bihii syaian wabilwalidaini ihsaanaa
al birr artinya baik ahlaknya lawan kata dari al-uquuq menyiakan.

Orang tua, sungguh senang masih ada ibu dan bapak di tengah kalian. Bisa sarapan bareng,dhuha bareng,antar sekolah,di bawakan bekal,pulang sekolah di cium kening,di bimbing PR,di ajarin tahsin,shalat berjamaah,shalat qiyamulail,murojaah,di ajari masak,jahit,menata ruangan dan sebagainya.
Setiap kegiatan kalian ibu dengan tekun memantau,bahkan aku sering liat di facebook. Fhoto2 kalian di sekolah,video2 kalian beda dengan aku.

Namun,aku tidak berkecil hati.
Fabiayyi alaa i robbikumaa tukadzibann.

Ibuku sudah menghadap Allah,aku tinggal bersama ciciku anak dari kaka ibu,beliau harusnya masih SMA tapi karena kesempatan dari Allah,beliau tinggal 3tahun lagi lulus dari spesialis anak. Sudah cerita tentang cici yang aku panggil bubu ini.

Suatu saat aku tanpa sengaja mencubit adikku mey usia 2 tahun,karena aku kesal kaligrafiku di pipisin dia. Dia nangis dan kaka lelakiku ka day marah. Namun, bubu tidak marah malah minta maaf.
Aku bertanya:
bubu kenapa?
Bubu tidak bisa marah. Lalu bubu memberiku beberapa ayat:
surat lukman ayat 14
surat Al ahqaf ayat 15-16.

Lalu bubu pergi,tidak lama kemudian bubu bercerita:
di suatu desa ada seorang usia 5 tahun dia mengasuh adik usia 3 tahun,kalau adiknya rewel dan nangis sang ibu selalu marah-marah sama sang kaka, adiknya tidak mau makan,mandi,rewel selalu saja marah.
Suatu hari sang kaka menangis dan selalu cuek pada anak kecil. Dia bertingkah kaya jagoan. Dan dia tidak suka di rumah,cenderung pendiam. Suatu hari sang kaka bercerita pada gurunya" aku tidak betah di rumah karena apapun yang terjadi pada adik kaka selalu di marahin, aku takut harus dekat dengan adik" lalu guru memanggil sang ibu.

Kenapa ibu tidak adil?kata sang guru
saya tidak mengharapkan punya anak seperti dia yang penyakitan dan tidak jelas asalnya jawab sang ibu
tapi,dengan sikap ibu seperti itu!ibu merusak keduanya kata sang guru.
Ibu, tahu rasanya kehilangan!saya bertindak keras pada kakanya agar dia mandiri bisa jaga diri,tidak seperti adiknya yang penyakitan! Jawab sang ibu

ibu,tahukah kalu ibu sudah mental anak yang satunya lagi, tidak ada anak yang nakal bu,jika ibu di posisi sadar. Ambil si kecil ketika sudah berhenti nangis,dekati kakanya. Seberat apapun ujian yang menimpa orang tuanya jangan bawa dia ke dalam masalah sebelumanak perempuan usia 9 tahun dan laki laki 10 tahun.

Bubu tidak marah sama kamu,karena kamu tidak nakal sebenarnya kamu mau memberitahu sama mey,kalau kaligrafi kaka adalah isi dari ayat Al-Qur'an karena juli takut sama Allah,saking takutnya jadi lupa marah deh. Dari cerita di atas kamu mengertikan? Sembahlah Allah jangan menyekutukannya,dan berbuat baik pada orang tua. Jika aku sayang Allah dan ibu harusnya aku juga sayang mey.
Surga dunia itu bukan berupa fisik,harta,keterkenalan,kebanggaan tapi ketenangan hati yang iman. Aku baru tahu kalau yang namanya orang tua tidak hanya pada ayah dan ibu tapi orang yang sayang kita karena Allah dan membimbing kita.
Aku titip do'a untuk ibu tanpa ucapan hanya do'a dari kalian ya. Terutama yang masih punya ibu.
Jazakumullah khairan katshiron

Tentang Kisah Mencari Kebahagiaan Sejati: Sebuah Curahan Hati Seorang Mahasiswa Islam


Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi*

Apakah anda pernah menyaksikan film Band Of Brother garapan Steven Spielberg? Dimana bangunan runtuh dan betonnya menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah, kami berjalan hati-hati sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang berserakan disana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih menyerupai kontrakan pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan kampus yang terkenal karena beberapa alumnusnya ini, jawaban baru saya ketahui ketika saya mengikuti awal-awal perkuliahan, bahwa IAIN sedang bermertamorFosa menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Jadi, gedung lama yang menyisakan tinta sejarah perjuangan mahasiswa harus dihancurkan karena gedung baru segera menanti untuk dibangun.

Saya bangga sekali diterima di sini, sedari awal cita-cita ini memang tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan aroma keilmuan yang kuat. Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat pekuliahan sebagai syarat mendapat Ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang tidak minat di jurusan hingga tidak gigih saat menuntut ilmu, namun saya sudah menetapkan standar visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya mengenal perguruan tinggi. Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai buku, banyak buku yang mewarnai garis pemikiran saya saat Aliyah dan apa makna kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi Hamka, Natsir, bahkan Sartre.

Awal-awal Kuliah di UIN
Jadi dulu awalnya ketika saya habis masa waktu menjadi anak Aliyah, perasaan saya kerap waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan kualitasnya. Oleh karena itu saya terlibat pada penilaian yang serba selektif sebelum menjatuhkan pilihan terhadap kampus yang akan dituju. Jangan sampai, saya masuk sekolah tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya terhadap ilmu. Ah dulu begitu memang sombongnya, tapi jika dirasa memang tidak berlebihan pula. Karena garansi kampus akan berelasi dengan kualitas kita kedepannya.

Bulan berganti bulan, akhirnya saya menyesuaikan diri dengan gaya UIN yang lebih agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur’an, Ulummul Hadits, Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah “danger” teruntuk saya dan kawan-kawan yang bukan dari kalangan santri, Bahasa Arab. Namun kendati pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada seebrsitpun rasa ini untuk mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya pun heran bagaimana masa depan saya nantinya. Apa yang diharapkan dari Sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya?

Ketika tahun berganti tahun, saya menjelma menjadi mahasiswa UIN seperti para pendahulunya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa diisi oleh kegiatan membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi perpustakaan. Namun kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni Barat. Bendera Kanadapun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum di UIN ada perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul, masih mencari-cari.

Di UIN, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero Indonesia, yang ketika bicara amat memukau, lengkap dengan cengkok khas intelektualisnya. Beberapa diantara mereka kemana-kemana selalu menenteng buku. Membaca Filsafat Perancis dengan mata temaram. Duduk bersandar dengan bentangan koran. Sesekali mengutip Plato dan dibenturkan dengan Aristoteles: bangunan peradaban kecil-kecillan yang kala itu massif di UIN.

Ada pepatah, bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi. Terprovokasi oleh adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya jajahi semata-mata mendapatkan air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap wawasan. Saya pernah berada di organisasi yang kanan, lalu ke moderat, berdiskusi di lembaga sosialis kiri, liberal, sampai aktif berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa senior jurusan Akidah Filsafat. Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak ubahnya sedang melihat sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan dipenuhi asap rokok hingga kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata gondrong melewati batas punggung.

Menurut bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak semester awal akan “diplonco” dengan cara kami harus mempresentasikan tema yang sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Disana saya bersama seorang kawan, benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku sejati. Saya ingat betul kawan saya yang baru semester satu itu harus menjelaskan tentang biografi Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9 Filsafat yang rada-rada ingkar Tuhan dalam penilaian saya. Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang thesis berlalu terlalu prematur.

Belum usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar seorang senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat rambut ikal Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke Turki dan sebelum menjadi Rektor UIN tentunya. Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah “abang-abang” kami yang telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini menjadi anggota Pansus Century. Di bawah tenda kami berkumpul dengan para jawara intelektual kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau penjilatan politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak saya, bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan politik.

Pada level pegerakan saya pun tidak melewatinya, tidak canggih jika mahasiswa tidak berdemo begitulah kata orang-orang. Namun entahlah saya merasa tidak cocok, banyak mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan nyata apa yang dikatakan tidaklah sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak dari mereka malah jadi broker di kampus masing-masing. Jika demo tidak shalat dan berkata seenaknya. Walau saya "brengsek" saat itu, tapi urusan sholat alhamadulillah tetap berjalan. Saya tidak yakin jika masa depan diserahkan kepada mereka akan membawa dampak positif bagi bangsa. Tapi ironisnya mereka meminta agar tampuk anggota DPR lebih baik diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie, politik itu bak Lumpur. Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti kemunafikan, belajar melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan kenyataan. Ketika abang mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang lagi bicara kebenaran. Alibipun ditebarkan.

Lantas dalam pendalaman Islam dan Maknanya, saya dihadapkan pada tulisan-tulisan Almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang walau saya tidak paham, saya iya-kan saja. Ketika itu saya masih lugu untuk mengintrepetasikan kalimat “tiada tuhan selain Tuhan”, ya filsafat cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior saya adalah seorang ayah yang menepuk-nepuk pundak anaknya, seraya berpesan “Nak, beginilah kalau kamu mau jadi orang cerdas”. Dan saya menikmati itu.

Westernisasi Pemikiran yang tidak Terelakkan
 Hingga waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya pelajari selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual yang benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari saya lebih suka mengimitasi psikoanalisa tinimbang Al Ghazali. Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi tulisan atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu wahyu di tiap lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau kata Gabriel Tarde, psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri ilmiah jika kita berada pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus masyarakat yang ada.

Selanjutnya saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi ilmu-ilmu produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan keterpesonaan seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca: bisa juga nilai duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi Islam, kampus umum dengan segala perangkat keduniaannya menurut saya lebih membuka peluang untuk mendekati kebenaran.

Shalat tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam jika ada hanya ada tugas adalah keseharian saya. Saya membaca buku-buku Islam, tapi tidak menikmati karena saya telah terlanjur cinta pada nama besar Freud, Jung, Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh kepercayaan pada positivisme, empirisme, rasionalisme, tinimbang The Philosphy of Islam. Jika anda bertanya pada saya tentang Islam, jangan harap saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi Muhammad dan bagaimana sejarahnya, sebab saya lebih tertantang melakukan diskusi buku-buku teori filsafat Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari perababan non Islami, dan mencoba mengedepankan kata “ilmiah” dahulu tinimbang Tuhan. Dan pada dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah dengan semangat Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya mengkaji itu semua untuk saya praktekan kelak. Kalau kita mau berfikir ekstrim, saya adalah “musuh” Islam saat itu. Walau saya tidak sampai berikrar menjadi penganut atheis. Saat itu saya masih sholat, puasa, tidak pacaran, dan mencintai Allah. Akan tetapi, saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak saya ada sebuah mosi ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam.

Melihat Cahaya Islam: Bahwa Fitrah itu ada
Namun dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti siapakah saya sebenarnya, untuk apakah saya hidup di dunia, kenapa saya selalu cemas, dan bagaimana nasib saya pasca dari dunia ini. Seribu tanya itu persis seperti Al Ghazali mempertanyakan tentang hakikat diri di Kitab Kimiyatul Sa’adah-nya. Hebatnya itu semua berjalan beriringan dengan kekaguman saya terhadap produk Barat itu. Hingga suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat ketika saya menerapkan keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai kevalidannya. Ternyata Barat yang saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang kehabisan bensin saat mendaki tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna terdalam dari kehidupan. Bukan hanya tidak bisa, ia memang tidak akan bisa, karena tumpulnya ketajaman pisau analisa-nya untuk mengupas hakikat problem jiwa manusia modern. Dan saat saya menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor, saya malah dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu modern tersebut.

Islam tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini saya melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu “ada”. Bagaimana mungkin para konseli saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan dengan pendekatan yang berbelit-belit ala psikologi Perancis, London, dan Jerman itu. Saya menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini selama ini. Karena sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi mata kuliah yang kami dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun ada tidak sama sekali membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam. Islam cenderung teoritis. Namun dalam lapangan sebenarnya saya mendapati para konseli saya merasakan indahnya menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir, shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur’an. Ya sekali lagi dengan pendekatan Islami, bukan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.

Saya pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika membaca Al qur’an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan. Inilah sebuah dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam nurani saya tanpa diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis, dan tak lama kemudian saya betul-betul terharu. Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh derajat tentang arti Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti mahasiswa strata satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama terdampar di sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud sedang memakai topi.

Saat itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang berbeda. Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang separuh prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori sebelumnya, teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika ilmu yang sejati, yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang masih intens dengan keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin gemerlap materi yang membutakan mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup pintu hidayah.

Belajar Islam dari Awal dan Ikhtiar menjadi Konselor Muslim
Sejak itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya belajar Islam dari awal lagi, dari a’, ba’, ta’ lagi. Dari Al Baqoroh lagi. Dari Bab Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya berkembang menjadi pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA sekalipun. Iri dengan para santri yang sangat nikmat sekali mempelajari dinul Islam di pesantren-pesantrennya. Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi untuk mencari mutiara keislaman yang terpendam dalam jutaan buku karangan manusia.

Saya belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk membaca gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman dari ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.

Jadilah dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa keajaiban Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam bukanlah kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu. Terlalu murah jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di UIN saya pernah menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus (baca: semacam MPR kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas rata-rata kawan saya, tapi saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik misalnya, intrik politik lebih banyak bermain ketimbang etika, padahal mereka-mereka juga orang hebat, lahir dari pesantren, mantan-mantan ketua BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran dan pro rakyat, penyambung lidah nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu Barat, tapi entahlah secara akhlak belum bisa saya simpulkan baik.

Dalam kasus ilmu, jika ilmu-ilmu modern yang saya pelajari amat berbelit-belit. Islam ternyata pada sisi penerapannya amatlah sederhana tapi sangat mendalam dan tepat. Dzikir yang kita maknai hanya sekedar ucapan, apabila dilakukan dengan penuh syahdu, itulah sebenarnya kenteraman yang kita cari selama ini, yang sebelumnya telah susah payah kita cari dengan uang, yang sebelumnya kita begitu terpana keukeh mencarinya di paras-paras wanita dan lelaki kaya, yang sebelumnya jatuh bangun kita mencarinya dari beringasnya kedudukan dunia. Dan saya baru dapati dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia, semakin jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah,

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)
Bahkan Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata:”Bilamana manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.

Sebagai seorang yang kadung belajar karakteristik manusia dan psikologi massa. Saya paham hal ini tidak bertahan lama jika saya tidak berada pada satu komunitas yang akan menunjang iman saya, ini penting. Mulailah saya membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti pergaulan. Jika dulu saya asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul dengan orang yang soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan saya kepada tali takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman amat penting bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.

Saya merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci untuk menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri. Siapa kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah, kenapa kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi besar. Dan anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi pengenalan diri dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi fitrah dari segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syekh Abdul Hamid Al Ghazali menaruh bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia kebahagaiaannya, inilah kunci awal menuju kebahagiaan.

Jika kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita selama ini apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada sebuah kata tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta, gelisahnya kita akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah dalam kuasa.
 Rasa cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah hanya berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya merasa sanggup berjalan sendirian.

Tanpa kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme tauhid kita terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang Maha kita cintai, tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa keinginan kita, apa kata pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa kata ego kita, dan segala rasa individualitas angkuh yang bersamayam dalam diri kita.

Ingat, mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi fitrah suci dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Semakin kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita. Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang kita dapat di dunia fana ini. Karena Allah sudah mengingatkan kita,
“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

Syekh Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun Nufus-nya, beliau berujar bahwa dosa adalah candu, semakin kita sering berbuat dosa, semakin ketagihanlah kita untuk bermaksiat kepada Allah. Sebuah rumus sederhana, bukan? Namun ketika ketaatan kepada Allah menjadi kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka ketenangan batin dan mansinya iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari. Percayalah, dan itu butuh kejelian kita, selamat berjuang para pencari kebahagiaan yang sejati.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid(57) ayat.20)

 *Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, di antaranya HMI, Forum Kota UIN, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Kini, aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI






Senin, 17 Oktober 2011

Jogja..Never ending Asia

Bismillahirahmanirrahim..

Jogja.. Oh Jogja…
Ada apakah ini, rindu selalu untuk kembali datang kepadamu (udah kayak lagu…). Satu hari ini teringat Jogja, kampus yang punya filosofi Profesional dan Qur’ani, teman-teman kuliah khususnya Bidan Reguler A 2008, kenalanku di Syuhada, Maskam UGM, bis jalur 12 yang tak terlupakan, Art graffiti yang menjadi penghibur mata dikala butuh yang cerah-cerah (hehe lebai dikit),  Malioboro, asrama Gerjen, Asrama Pusat, mba-mba Eldata, Alun-alun kidul, alun-alun utara, Shoping, Kaliurang, Benteng Vredeburg, Taman Sari, pasar Ngasem, Tugu, LETTO, nasi kucing, angkringan dan tempat-tempat bersejarah lainnya.

Kangen kampus tercinta Stikes ‘Aisyiyah Yogyakarta(bagi yang pengen tau lebih banyak ini webnya http://www.stikes-aisyiyah-jogja.ac.id), walaupun cuma 3 tahun berada di kampus ini tapi ngangeni banget e…. Pojok ternyaman berada di sudut perpustakaan sampe malam diantara rak-rak hasil penelitian para alumni, curhat sama temen yang senasib seperjuangan tentang Karya Tulis yang sempat ditinggal 6 bulan lebih yang selalu sendu berdebu di tumpukan buku Ilmu Kebidanan-Kandungan, obstetric patologi, yang minta segera diselesaikan. Alhamdulillah Ya Allah, bisa dipertemukan dengan dosen-dosen yang berpengalaman, sahabat, ilmu, kehidupan, senyum, tangis, kesal, kecewa, takut, pasrah, semangat, wah campur aduk pokoke.
kampus Stikes'Aiyiyah Yogyakarta
taken from: http://mila804.wordpress.com


Assalamu’alaikum sahabat, masih ingatkah 2005 kita pertama kali bertemu, masih dengan sejuta tanya untuk apa kita di sini. Akan jadi apa kita 3 tahun mendatang, sudah jadi siapakah kita 4-5 tahun kemudian. Masih bayangan ketika pada awal-awal semester kata Midwifery terngiang di telinga kita. Yaaa tahun-tahun pertama masih taraf pengenalan siapa saya siapa kamu, tahun ke-2 bagaimana kita bisa bersaing secara sehat (semangat belajarnya terasaaa banget), tahun ke-3 udah banyak air mata yang berjatuhan, yang setengah-setengah akan mundur teratur, yang siap akan fight hingga titik darah penghabisan. Nunggu dosen untuk konsul askeb, konsul KTI, duduk di tangga aula untuk ngantri tanda tangan Bu Hikmah buat syarat yudisium(huaaa.. sangat bersejarah). Masih ingatkah ketika Karya Tulis Ilmiah,Praktik Klinik, Praktek Komunitas menggempur kita habis-habisan dari depan-belakang-kanan-kiri. Rasanya lunglai lutut ini setiap masuk kamar kos, tapi ada semangat luar biasa ketika semua itu kita share bersama-sama buktinya kita bisa lulus yudisium dan wisuda sama-sama tepat 3 tahun. Alhamdulillah..Miss U teman (hiks..) sudah bagaimanakah sekarang kalian? Baik-baik sajakah, udah pada nikah ya? Udah punya anak juga ya? sudah pada sukses ya? Udah pada jadi bidan delima ya? (banyak nanya saya).

Bidan Reguler A Th 2008, Wew...

Hai bis jalur 12 apa kabarmu? (Terminal Giwangan- Jl.Pramuka-Jl.Pandean- Jl.Glagah Sari- Jl. Kusumanegara- Jl. KHA Dahlan- Cokroaminoto- Tantara Pelajar- Borobudur Plaza- Jl. Wolter Mongonsidi- Lingkar UGM- Jl. KHA Dahlan- Sultan Agung- Jl. Suryopranoto- Mangunsarkoro- Jl. Kusumanegara- Glagah Sari- Jl. Veteran- Jl. Pramuka- Terminal Giwangan), lamo kito tak basuo. Bagaimana kondisimu setelah ada teman baru Trans Jogja. Merasa tersaingikah? Hah.. sudahlah aku masih setia padamu jika suatu saat kita bertemu lagi (huhu…). Masih ingatkah ketika denganmu aku bisa melihat indahnya hidup dari sudut jendelamu yang sudah buram, keliling jogja, pengamen 5 oktaf di simpang itu, art graffiti di tembok-tembok jalanan, anak kecil tanpa alas kaki, asap-debu, mahasiswa yang semangat ngobrolin masa depan, anak sekolah yang lagi jatuh cinta, sedang aku hanya terduduk sendu sendiri sambil sesekali tersenyum dalam hati.. Alhamdulillah J Biarlah cerita kita tetap menjadi pelajaran hidup yang besar untukku. Yang mau jalan-jalan pake jalur bis kota di jogja silahkan ke sini mau pakai maping klik ini.
Bis kota Reguler, nyari jalur 12 ga ada gambarnya, maap ye yang penasaran
source: http://newyorkyakarta.net

Masjid kampus UGM


Masih penuh asa saya untuk bisa kembali lagi ke Jogja, serasa masih ada yang tertinggal disana. Minimal jejak hidup dan sedikit perbaikan hidup saya pernah tertoreh di Jogja. Ketika gempa mengguncang tahun 27 Mei 2006, sayapun merasa kan bagaimana antara pasrah dan berharap, bagaimana antara posisi hidup-mati, ketika saya benar-benar butuh Allah untuk menyelamatkan saya dan kami semua, dimana terikan takbir menggema (kami merasa keciiiil Ya Allah), saat ada umi asrama disamping saya yang berlaripun sudah tidak kuat harus kami bawa dari asrama Gerjen menuju asrama pusat di Jl.Ahmad Dahlan, ricuh dengan teriakan tsunami datang! Syukur, kami semua masih selamat dan asrama dan kampus kami masih tegak berdiri.

Masjid Syuhada
taken from:http://anytamujahidah.wordpress.com

Penat dengan rutinitas kampus dan kos ngadem dulu nyari spirit di maskam UGM dan masjid Syuhada, paling seneng nih kalau udah ngeliat jilbaber yg lagi kajian atawa lagi ngaji ikut ketular semangatnya hehe..

Sedikit- banyak udah share tentang saya dan Jogja. Tetap  masih ada yang kurang, kayaknya saya memang harus kembali kesana lagi..lagi..dan lagi.. Insya Allah, mungkin dengan kesempatan yang berbeda bisa berdua teman, beramai-ramai keluarga ataupun berkeluarga (jiaaa..).

Jogja…Never ending Asia. Bener banget!



*kala Sendu teringat Jogja





Rabu, 05 Oktober 2011

Maafkan aku ibu..Setulus Qalbu

Bismillahirrahmanirrahim…

Mungkin inilah proses persalinan yang penuh dengan haru biru semenjak saya kerja di tempat yang baru. Hari yang bersejarah bagi seorang ibu muda bernama ibu “P”. Bagaimana tidak ketika saat-saat yang paling ditunggu oleh seorang ibu dan keluarga menanti kelahiran anggota keluarga baru apalagi anak pertama dari pasangan tersebut. Harapannya adalah ketika sakit itu datang ada keluarga dan orang tua tercinta mendampingi proses persalinan agar berjalan lancar yaaa minimal ada do’a dan restu disana. Harapan besar bagi seorang wanita saat yang istimewa itu ada suami yang menemani, ibunda, ayahnda dan keluarga besar yang saling support satu sama lainnya.

Namun cerita tak selamanya indah, sekenario tak selamanya diisi dengan tawa bahagia. Tak selamanya hidup datar  tanpa tanjakan ataupun turunan. Ibu itu masih terbilang muda 19 tahun dan suami yang hanya selang 2 tahun. Hmm.. pasangan muda ternyata. Anamnesa berlanjut, selidik punya cerita ternyata pasangan ini tidak disetujui pernikahannya oleh pihak keluarga perempuan dengan alasan perbedaan status social ekonomi. Keluarga dari pihak perempuan menginginkan kalau melanjutkan kuliah lebih utama dibanding menikah. Tapi cinta sudah sampai pada puncaknya, keinginan untuk menikah mungkin sudah tidak terbendung lagi dan pasangan ini sempat kabur dari rumah selama 3 bulan, yaa tujuanya menikah tapi tanpa restu dari pihak sang istri.Beruntung pihak suami masih membuka tangannya untuk menerima kedua pasangan yang sudah menjadi suami istri tersebut.

Pertama kali saya ketemu mereka saat si ibu memeriksa kehamilannya di Puskesmas secara rutin. Hanya berdua bersama suaminya, dan rutin menyalami kami ketika datang maupun saat pulang. Tetap ada senyum dari wajah keduanya. Ternyata isu pernikahan mereka suda santer terdengar di tempat kerja saya karena ibu P merupakan anak pejabat penting di daerah tersebut. Tinggal menunggu waktu proses persalinan yang menghitung hari.

Tanggal 1 Oktober, saya kembali bertemu pasangan suami istri itu dalam kondisi sang istri sudah mules-mules dan ingin melahirkan. Ternyata mereka tidak sendiri ditemani oleh keluarga laki-laki yang ternyata sangat sayang kepada ibu P, saya bisa melihat bahwa perhatian itu tidak dibuat-buat murni riil pihak laki-laki menerima pernikahan mereka.

Proses persalinan berjalan lambat kemajuan tidak seperti yang diharapkan saya dan teman bidan lainnya. Akhirnya si ibu diinfus karena terlihat sangat lemah dan kecapean. Ga ada suara, ga ada erangan, ga ada teriakan ataupun ekspresi kesal menyalahi sakit yang kerap datang setiap 2-3 menit sekali. Ya Allah, saya miris melihat pasangan ini. Si ibu P hanya diam, silence, saya seperti membayangkan seseorang yang sudah tak punya air mata ataupun suara untuk sekedar meluapkan apa yang dirasa. Mungkin beban tak direstui keluarga itu lebih besar ketimbang rasa sakit yang dialaminya, mungkin saja air matanya sudah habis saat menangis dan meminta izin restu dari sang ibu dan ayahnya. Perempuan, kadang paling bisa menyembunyikan perasaannya walaupun itu ibarat dihantam palu godam. Sang suami berusaha menguatkan sang istri sambil sesekali meniup ubun-ubun sang istri dan ada air mata di sudut matanya, yaa terlihat sekali sesekali ia menyekanya.

Pembukaan sudah lengkap, satu jam dipimpin mengedan tidak terdapat tanda-tanda kemajuan persalinan kepala bayi tetap tidan turun ke H3. Keluarga suami sudah terlihat panik saat menantunya tak menunjukkan tanda-tanda kelahiran bayi, tangisan sudah mulai berjatuhan di depan ruang persalinan.Mereka sudah menyerahkan sepenuhnya yang terbaik secara medis kepada kami. Bidan senior sempat menghubungi bidan desa agar membawa ibunya Ny. “P” ke puskesmas. Bagaimanapun restu dan do’a orang tua berperan disini. Apalagi kehadiran ibu. Cukuplah ego hanya sampai pada tak merestui, tapi bayi yang dikandung janganlah sampai terkena imbas kealpaan ataupun kekhilafan ibu-bapaknya.

Satu persatu keluarga menyemangati Ny.”P”, dengan berbagai macam cara dan perkataan yang membuat miris hati. Masih dengan ekspresi yang sama tanpa perkataan dan suara, hanya wajahnya tetap menunjukan rasa sakit yang sudah sangat-sangat. Ya Rabb,. Beri kemudahan di proses persalinan ini.

Alhamdulillah, tak diduga kami ibunda NY. “P” datang ke puskesmas bersama bidan desa. Ibu…ibu… tetap tidak akan tega membiarkan anaknya mengerang sakit seorang diri. Tetap lebih menggunakan perasaanya ketimbang egonya. Tangis pecah saat itu, ibunda Ny. “P” berbisik di telinga anaknya sambil terus berdo’a. Dalam hati saya “hfft….baiklah, tak perlu ada marah lagi disini tak perlu ada yang berkeras hati disini, Ridhoilah anakmu ibu. Do’akan agar persalinan ini Allah mudahkan. Do’a dan restumu berperan disini  ibu”.

Maghrib menghampiri, do’a-do’a kami mengalun penuh syahdu ke langit-langit yang sudah tampak kelam,senja berlalu. Kami milik-Mu Ya Allah. Apalah kami tanpa pertolongan dari Sisi-Mu. Bahkan untuk bernafas saja kami membutuhkan Kuasa-Mu. Rabb, kami menyadari kami banyak kesalahan, khilaf kami lebih banyak ketimbang amal kami. Jangan jadikan kesalahan kami menutup Rahmat-Mu Ya Allah. Ampunilah kami, mudahkan ikhtiar kami, di sini ada seorang perempuan yang berjuang untuk menjadi seorang ibu. Mungkin rasa sakit yang saya lihat tidak sebanding apa yang dirinya rasa. Mudahkan Ya Allah, kami memohon yang terbaik dari sisi-Mu.

Air mata, mungkin inilah salah satu ketidak berdayaan seseorang yang bernama manusia. Apa yang mau disombongkan ketika kesulitan itu menerpa. Siapa yang mau dipanggil ketika nyawa sudah berada di ujung tanduk dan di depan mata. Mana pangkat yang dibanggakan, mana harta yang kerap dipamerkan mana status ekonomi yang diunggulkan kemana?? Kalau sudah saat-saat seperti ini dimana dunia? Dan semakin dekatlah antara kehidupan dan kematian.

Dua jam hampir terlewati, kepala bayi sudah crowning. Semua orang semakin panik dan berusaha menyemangati. Sang suami tak kuasa menahan tangis di samping istri yang berjuang. Alhamdulillah, Allahuakbar, si kecil lahir segera menangis lengkap sehat tanpa kekurangan fisik apapun. Saya merasakan atmosfer sedih yang bercampur bahagia di ruangan itu. Ruangan itu terasa hangat dengan rasa syukur. Ny.”P” terlihat tak kuasa menahan air matanya yang akhirnya tumpah, dan saat bayi lahir si ibu yang menemani langsung pergi dan pamit untuk pulang. Entahlah apa yang dirasa sang ibunda yang telah berubah statusnya menjadi seorang nenek. Apakah yang dirasa saat bayi merah itu lahir di depan matanya yang sayu. Adakah restu dan do’a untuk cucu yang tak bersalah, adakah maaf untuk anak yang banyak melakukan kesalahan, masih adakah senyum dan do’a  sayang untuk keluarga baru ini. Ibu.. saya yakin cinta itu masih melekat kuat dihatimu.

Saya sudah berkata banyak. Ini hanyalah ungkapan hati dari apa yang saya lihat dan rasakan dengan pengalaman hidup keluarga muda ini. Entahlah, siapa yang benar dan salah. Tapi bukan itu yang ingin dicari dari hikmah ini. Kalau setiap orang ingin mencari siapa yang salah pastinya setiap orang punya celah untuk bersalah. Saya yakin restu, do’a dan dukungan orang tua berperan membuka pintu langit dan keridhoan Allah. Do’a orang tua yang akan memudahkan dan meringankan jalan dan tujuan yang akan kita tempuh. Dan batu yang keras ketika di jatuhi air tarus-menerus bisa terbelah.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Luqman 14).

#Maafkan aku ibu.. setulus qalbu











Selasa, 04 Oktober 2011

kontemplasi

Bismillah...

"Ketika tiba-tiba kita ingin menangis, yakinlah bahwa pada saat itu kita membutuhkan Allah SWT."

Kata-kata dari mbak trainer di asrama saya dulu masih terus terngiang di dalam ingatan saya, bukan tanpa sebab karena terbukti itu pernah terjadi di keseharian kehidupan saya. Entah kenapa tiba-tiba saya bisa begitu mellow dan tiba-tiba saya merasa sangat ingin mengeluarkan air mata dan terasa sangat-sangat letih dengan kehidupan ini. bukan letih menyalahi takdir ataupun berputus asa, tapi saya letih dengan kehidupan saya yang terkesan monoton, berkubang di kegelapan dan tanpa aksi.

Hingga tiba pada satu titik "kenakalan" saya sebagai manusia. Saya mempertanyakan "apakah Allah itu cinta dan sayang sama saya? apakah Allah itu selalu ada bersama saya dikondisi yang seperti ini? apakah Allah menjawab do'a-do'a saya? apakah Allah meninggalkan saya hingga saya seperti ini?"

Terbaca seperti orang yang berputus asa bukan? tapi saya merasa pada saat itulah sesungguhnya saya sedang ingin dikuatkan, ingin diyakinkan, ingin di kukuhkan keyakinan hati ini bahwa Allah selalu ada bersama saya bahkan dikondisi yang paling terpuruk sekalipun. saya tidak pernah meragukan kekuasaan Allah, bagaimana Rahman-RahimNya Allah dengan segala nikmat yang diberikan kepada saya dan keluarga , tapi entahlah kadang permasalahan, rutinitas, dan kondisi membuat saya kadang merasa down dan butuh untuk dikuatkan kembali dengan keyakinan dan pembuktian.

Subhanallah, Allah itu Berkuasa atas Segala Sesuatunya, dan petunjuknya dapat datang dari arah yang tiada pernah disangka-sangka. Allah menunjukkan kuasanya dengan cara saya dipertemukan dengan sahabat-sahabat yang solih, saya bisa belajar banyak dari tulisan-tulisannya, cara mereka bersikap dan ketika saya ingin kembali dekat dengan Allah  ada sesuatu yang semakin menguatkan karena Allah menjawab semua pertanyaan saya dengan wahyu-Nya.

Pertanyaan-pertanyaan saya terjawab, keraguan saya sirna, kelemahan saya berangsur-angsur bangkit. Saya hanya butuh pembuktian yang membuat saya bangkit. semuanya jelas tertulis secara indah di Al-Qur'anul Qarim. ketika saya merasa beban yang sangat berat menghimpit, letih dan terasa begitu pelik Allah menjawab " ...sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya kesulitan itu ada kemudahan."(1)
saat saya merasa sendiri dan ingin rasanya menangis ada jawaban yang indah dan begitu menenangkan "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita."(2) saat dunia ini terasa begitu "kejam" dan cobaan datang bertubu-tubi menghampiri dan menggempur batas ketahanan fisik dan jasmani saya saya yakin bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan begitu saja karena Allah berjanji " Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya."(3) dan ketika sisi kemanusiaan saya mencoba mencari keyakinan bahwa Allah tidak akan perah ingkar maka Kuasa Allah SWT menembus batas keangkuhan saya " Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar.."(4)

Hal-hal yang tidak kita sadari ternyata merupakan jawaban-jawaban dari Allah melalui segala petunjuk dan kuasanya. Benar dan terbukti benar bahwa Allah begitu Rahman-Rahim. Rabb, Segala Puji Bagimu yang telah memberikan kenikmatan mata ini, bagaimana seandainya Kau cabut nikmat pandangan ini, bagaimana seandainya telinga ini tak dapat mendengar, bila lisan ini tak dapat berucap, bila hidung ini tak dapat berfungsi dengan baik, bila tangan dan kaki ini tak dapat bergerak, bila jantung ini kesulitan untuk berdetak, bila......

Ya Rabb kami, terimalah (amal) dari kami, sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah taubat kami. Sungguh Engkaulah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.  

Notes:
(1) Qs. A Lam Nayrah: 5-6
(2) Qs. At-Taubah: 40
(3) Qs. Al-Baqarah: 286
(4) Qs. Fathir: 5