Oleh: Muhammad Pizaro Novelan
Tauhidi*
Apakah
anda pernah menyaksikan film Band Of Brother garapan Steven Spielberg? Dimana
bangunan runtuh dan betonnya menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya
saat kali pertama menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah, kami berjalan hati-hati
sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang berserakan
disana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih menyerupai kontrakan
pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan kampus yang
terkenal karena beberapa alumnusnya ini, jawaban baru saya ketahui ketika saya
mengikuti awal-awal perkuliahan, bahwa IAIN sedang bermertamorFosa menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN). Jadi, gedung lama yang menyisakan tinta sejarah
perjuangan mahasiswa harus dihancurkan karena gedung baru segera menanti untuk
dibangun.
Saya bangga sekali diterima di sini,
sedari awal cita-cita ini memang tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan
aroma keilmuan yang kuat. Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat
pekuliahan sebagai syarat mendapat Ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang
tidak minat di jurusan hingga tidak gigih saat menuntut ilmu, namun saya sudah
menetapkan standar visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya
mengenal perguruan tinggi. Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai
buku, banyak buku yang mewarnai garis pemikiran saya saat Aliyah dan apa makna
kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi Hamka,
Natsir, bahkan Sartre.
Awal-awal
Kuliah di UIN
Jadi
dulu awalnya ketika saya habis masa waktu menjadi anak Aliyah, perasaan saya
kerap waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan
tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan
kualitasnya. Oleh karena itu saya terlibat pada penilaian yang serba selektif
sebelum menjatuhkan pilihan terhadap kampus yang akan dituju. Jangan sampai,
saya masuk sekolah tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya
terhadap ilmu. Ah dulu begitu memang sombongnya, tapi jika dirasa memang tidak
berlebihan pula. Karena garansi kampus akan berelasi dengan kualitas kita
kedepannya.
Bulan
berganti bulan, akhirnya saya menyesuaikan diri dengan gaya UIN yang lebih
agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur’an, Ulummul Hadits,
Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah “danger” teruntuk saya dan
kawan-kawan yang bukan dari kalangan santri, Bahasa Arab. Namun kendati
pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada seebrsitpun rasa ini untuk
mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya pun heran bagaimana masa depan saya nantinya.
Apa yang diharapkan dari Sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya?
Ketika
tahun berganti tahun, saya menjelma menjadi mahasiswa UIN seperti para
pendahulunya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa diisi oleh kegiatan
membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi perpustakaan. Namun
kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni Barat. Bendera
Kanadapun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum di UIN ada
perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul, masih
mencari-cari.
Di
UIN, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero Indonesia, yang
ketika bicara amat memukau, lengkap dengan cengkok khas intelektualisnya.
Beberapa diantara mereka kemana-kemana selalu menenteng buku. Membaca Filsafat
Perancis dengan mata temaram. Duduk bersandar dengan bentangan koran. Sesekali
mengutip Plato dan dibenturkan dengan Aristoteles: bangunan peradaban
kecil-kecillan yang kala itu massif di UIN.
Ada
pepatah, bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi. Terprovokasi oleh
adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya jajahi semata-mata mendapatkan
air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap wawasan. Saya pernah berada
di organisasi yang kanan, lalu ke moderat, berdiskusi di lembaga sosialis kiri,
liberal, sampai aktif berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa
senior jurusan Akidah Filsafat. Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak
ubahnya sedang melihat sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan
dipenuhi asap rokok hingga kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata
gondrong melewati batas punggung.
Menurut
bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak semester
awal akan “diplonco” dengan cara kami harus mempresentasikan tema yang
sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Disana saya bersama seorang
kawan, benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku sejati. Saya ingat
betul kawan saya yang baru semester satu itu harus menjelaskan tentang biografi
Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9 Filsafat yang rada-rada ingkar
Tuhan dalam penilaian saya. Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang
thesis berlalu terlalu prematur.
Belum
usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar seorang
senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat rambut ikal
Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke Turki dan sebelum
menjadi Rektor UIN tentunya. Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah
“abang-abang” kami yang telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini
menjadi anggota Pansus Century. Di bawah tenda kami berkumpul dengan para
jawara intelektual kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau
penjilatan politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak
saya, bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan
politik.
Pada
level pegerakan saya pun tidak melewatinya, tidak canggih jika mahasiswa tidak
berdemo begitulah kata orang-orang. Namun entahlah saya merasa tidak cocok, banyak
mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan nyata apa yang dikatakan tidaklah
sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak dari mereka malah jadi broker di kampus
masing-masing. Jika demo tidak shalat dan berkata seenaknya. Walau saya
"brengsek" saat itu, tapi urusan sholat alhamadulillah tetap
berjalan. Saya tidak yakin jika masa depan diserahkan kepada mereka akan
membawa dampak positif bagi bangsa. Tapi ironisnya mereka meminta agar tampuk
anggota DPR lebih baik diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie,
politik itu bak Lumpur. Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti
kemunafikan, belajar melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan
kenyataan. Ketika abang mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang
lagi bicara kebenaran. Alibipun ditebarkan.
Lantas dalam pendalaman Islam dan
Maknanya, saya dihadapkan pada tulisan-tulisan Almarhum Cak Nur (Nurcholis
Madjid) yang walau saya tidak paham, saya iya-kan saja. Ketika itu saya masih
lugu untuk mengintrepetasikan kalimat “tiada tuhan selain Tuhan”, ya filsafat
cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior saya
adalah seorang ayah yang menepuk-nepuk pundak anaknya, seraya berpesan “Nak,
beginilah kalau kamu mau jadi orang cerdas”. Dan saya menikmati itu.
Westernisasi
Pemikiran yang tidak Terelakkan
Hingga
waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya pelajari
selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual yang
benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari saya lebih suka
mengimitasi psikoanalisa tinimbang Al Ghazali. Naluri saya lebih bangga untuk
membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi tulisan
atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu wahyu di tiap
lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau kata Gabriel Tarde,
psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri ilmiah jika kita berada
pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus masyarakat yang ada.
Selanjutnya
saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi ilmu-ilmu
produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan keterpesonaan
seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca: bisa juga nilai
duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi Islam, kampus umum
dengan segala perangkat keduniaannya menurut saya lebih membuka peluang untuk
mendekati kebenaran.
Shalat
tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam jika ada
hanya ada tugas adalah keseharian saya. Saya membaca buku-buku Islam, tapi
tidak menikmati karena saya telah terlanjur cinta pada nama besar Freud, Jung,
Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh kepercayaan pada positivisme,
empirisme, rasionalisme, tinimbang The Philosphy of Islam. Jika anda bertanya
pada saya tentang Islam, jangan harap saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi
Muhammad dan bagaimana sejarahnya, sebab saya lebih tertantang melakukan
diskusi buku-buku teori filsafat Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari
perababan non Islami, dan mencoba mengedepankan kata “ilmiah” dahulu tinimbang
Tuhan. Dan pada dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah
dengan semangat Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya
mengkaji itu semua untuk saya praktekan kelak. Kalau kita mau berfikir ekstrim,
saya adalah “musuh” Islam saat itu. Walau saya tidak sampai berikrar menjadi
penganut atheis. Saat itu saya masih sholat, puasa, tidak pacaran, dan
mencintai Allah. Akan tetapi, saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak
saya ada sebuah mosi ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam.
Melihat
Cahaya Islam: Bahwa Fitrah itu ada
Namun
dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil yang
bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti siapakah saya sebenarnya,
untuk apakah saya hidup di dunia, kenapa saya selalu cemas, dan bagaimana nasib
saya pasca dari dunia ini. Seribu tanya itu persis seperti Al Ghazali mempertanyakan
tentang hakikat diri di Kitab Kimiyatul Sa’adah-nya. Hebatnya itu semua
berjalan beriringan dengan kekaguman saya terhadap produk Barat itu. Hingga
suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat ketika saya menerapkan
keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai kevalidannya. Ternyata Barat yang
saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang kehabisan bensin saat mendaki
tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna terdalam dari kehidupan. Bukan hanya
tidak bisa, ia memang tidak akan bisa, karena tumpulnya ketajaman pisau
analisa-nya untuk mengupas hakikat problem jiwa manusia modern. Dan saat saya
menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor, saya malah
dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak dapat dipecahkan
oleh ilmu modern tersebut.
Islam
tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini saya
melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu “ada”. Bagaimana mungkin para konseli
saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan dengan pendekatan
yang berbelit-belit ala psikologi Perancis, London, dan Jerman itu. Saya
menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini selama ini. Karena
sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi mata kuliah yang kami
dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun ada tidak sama sekali
membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam. Islam cenderung teoritis.
Namun dalam lapangan sebenarnya saya mendapati para konseli saya merasakan
indahnya menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir,
shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur’an. Ya sekali lagi dengan pendekatan Islami,
bukan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.
Saya
pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika membaca Al
qur’an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan. Inilah sebuah
dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam nurani saya tanpa
diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis, dan tak lama kemudian
saya betul-betul terharu. Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh
derajat tentang arti Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti
mahasiswa strata satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama
terdampar di sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud
sedang memakai topi.
Saat
itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang berbeda.
Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang separuh
prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori sebelumnya,
teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika ilmu yang sejati,
yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang masih intens dengan
keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin gemerlap materi yang membutakan
mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup pintu hidayah.
Belajar
Islam dari Awal dan Ikhtiar menjadi Konselor Muslim
Sejak
itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya belajar
Islam dari awal lagi, dari a’, ba’, ta’ lagi. Dari Al Baqoroh lagi. Dari Bab
Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya berkembang menjadi
pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA sekalipun. Iri dengan para
santri yang sangat nikmat sekali mempelajari dinul Islam di pesantren-pesantrennya.
Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi untuk mencari mutiara keislaman yang
terpendam dalam jutaan buku karangan manusia.
Saya
belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk membaca
gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman dari
ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti
tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang
butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun
menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi
Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.
Jadilah
dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa keajaiban
Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam bukanlah
kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu. Terlalu murah
jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di UIN saya pernah
menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus (baca: semacam MPR
kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas rata-rata kawan saya, tapi
saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik misalnya, intrik politik lebih
banyak bermain ketimbang etika, padahal mereka-mereka juga orang hebat, lahir
dari pesantren, mantan-mantan ketua BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran
dan pro rakyat, penyambung lidah nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu
Barat, tapi entahlah secara akhlak belum bisa saya simpulkan baik.
Dalam
kasus ilmu, jika ilmu-ilmu modern yang saya pelajari amat berbelit-belit. Islam
ternyata pada sisi penerapannya amatlah sederhana tapi sangat mendalam dan
tepat. Dzikir yang kita maknai hanya sekedar ucapan, apabila dilakukan dengan
penuh syahdu, itulah sebenarnya kenteraman yang kita cari selama ini, yang
sebelumnya telah susah payah kita cari dengan uang, yang sebelumnya kita begitu
terpana keukeh mencarinya di paras-paras wanita dan lelaki kaya, yang
sebelumnya jatuh bangun kita mencarinya dari beringasnya kedudukan dunia. Dan
saya baru dapati dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia,
semakin jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada
substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah,
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)
Bahkan
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata:”Bilamana manusia
menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat
ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa
menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia
menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh
menipu. Penderitaan duniapun menipu.
Sebagai seorang yang kadung belajar
karakteristik manusia dan psikologi massa. Saya paham hal ini tidak bertahan
lama jika saya tidak berada pada satu komunitas yang akan menunjang iman saya,
ini penting. Mulailah saya membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti
pergaulan. Jika dulu saya asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul
dengan orang yang soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan
saya kepada tali takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman
amat penting bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi,
maka harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena
menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.
Saya
merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci untuk
menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri. Siapa
kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah, kenapa
kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi besar. Dan
anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada diri kita
sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi pengenalan diri
dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi fitrah dari
segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syekh Abdul Hamid Al Ghazali menaruh
bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia kebahagaiaannya, inilah kunci
awal menuju kebahagiaan.
Jika
kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita selama ini
apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada sebuah kata
tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta, gelisahnya kita
akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah dalam kuasa.
Rasa
cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah hanya
berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya merasa
sanggup berjalan sendirian.
Tanpa
kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme tauhid kita
terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang Maha kita cintai,
tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa keinginan kita, apa kata
pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa kata ego kita, dan segala rasa
individualitas angkuh yang bersamayam dalam diri kita.
Ingat,
mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi fitrah suci
dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Semakin
kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita. Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang
kita dapat di dunia fana ini. Karena Allah sudah mengingatkan kita,
“Maka
celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka
berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)
Syekh
Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan hukuman
yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu
yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang
keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan,
tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun Nufus-nya, beliau berujar
bahwa dosa adalah candu, semakin kita sering berbuat dosa, semakin ketagihanlah
kita untuk bermaksiat kepada Allah. Sebuah rumus sederhana, bukan? Namun ketika
ketaatan kepada Allah menjadi kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka
ketenangan batin dan mansinya iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari.
Percayalah, dan itu butuh kejelian kita, selamat berjuang para pencari
kebahagiaan yang sejati.
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid(57) ayat.20)
*Penulis
adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada
kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, di antaranya HMI, Forum Kota
UIN, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN
Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Kini, aktif pada diskusi
sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC
UI